Oleh: Ali Adhim
Di banyak tempat, pesantren masih dipandang sebagai lembaga yang hanya mencetak ahli agama. Santri menghabiskan waktunya dengan menghafal kitab, mendalami tafsir, mempelajari hadis, dan berdiskusi tentang fikih. Lalu setelah bertahun-tahun belajar, banyak dari mereka kembali ke masyarakat tanpa keterampilan yang cukup untuk bertahan di dunia kerja. Sebagian melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, sebagian lagi mengajar di pesantren atau masjid. Tapi ada pula yang tersesat di persimpangan: tidak cukup berilmu untuk menjadi ulama, namun juga tidak cukup terampil untuk hidup mandiri.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah pesantren hanya akan terus melahirkan individu yang bergantung pada sistem tradisional? Apakah pesantren tidak bisa menjadi lembaga yang lebih progresif, yang tidak hanya mencetak ahli agama, tetapi juga individu yang mandiri secara ekonomi dan sosial?
Inilah yang melatarbelakangi berdirinya pesantren vokasi—sebuah upaya menjembatani ajaran Islam dengan tuntutan zaman.
Landasan Islam dalam Membangun Kemandirian
Sejak awal, Islam tidak pernah mengajarkan pemisahan antara ilmu agama dan keterampilan duniawi. Dalam Surah Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.”
Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kehidupan dunia bukan sesuatu yang harus dihindari. Sebaliknya, ia adalah ladang bagi manusia untuk mencari bekal akhirat, dan itu hanya bisa dilakukan jika seseorang memiliki kemampuan untuk bertahan dan berkembang di dunia.
Dalam hadis, Rasulullah sendiri menegaskan pentingnya bekerja dengan tangan sendiri. Salah satu yang terkenal adalah hadis riwayat Bukhari:
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud AS juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk hanya bergantung pada sedekah atau belas kasihan orang lain. Justru, Rasulullah menekankan bahwa bekerja, berusaha, dan memiliki keterampilan adalah bagian dari ibadah. Dalam sejarah Islam, para ulama besar tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga ilmu kehidupan. Al-Ghazali menulis tentang filsafat dan sains. Ibn Khaldun bukan hanya seorang ahli sejarah, tetapi juga ekonom.
Maka, ketika pesantren hari ini memperkenalkan konsep vokasi, ia sebenarnya sedang mengembalikan Islam ke akar tradisinya—bahwa ilmu dan keterampilan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Mengapa Pesantren Perlu Mengajarkan Keterampilan?
Di luar sana, dunia terus bergerak. Teknologi berkembang, industri tumbuh, dan persaingan semakin ketat. Jika santri hanya dibekali ilmu agama tanpa keterampilan praktis, bagaimana mereka bisa bertahan?
Ada anggapan bahwa santri cukup menjadi guru agama atau ustaz setelah lulus. Tapi realitas tidak selalu berjalan demikian. Tidak semua santri akan menjadi pengajar. Tidak semua memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagian besar dari mereka tetap harus berhadapan dengan dunia yang menuntut keahlian konkret.
Pesantren vokasi lahir sebagai jawaban atas masalah ini. Santri tetap diajarkan ilmu agama, tetapi juga dibekali keterampilan seperti wirausaha, pertanian modern, industri kreatif, teknologi digital, hingga ekonomi syariah. Mereka belajar kitab kuning, tetapi juga diajarkan cara membangun usaha sendiri. Mereka menghafal Al-Qur’an, tetapi juga memahami bagaimana memanfaatkan internet untuk dakwah dan bisnis.
Dengan cara ini, pesantren tidak lagi hanya menjadi lembaga yang mencetak ahli agama, tetapi juga generasi yang siap bekerja dan berkarya.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Tentu saja, tidak semua pihak menerima gagasan ini dengan mudah. Masih ada yang beranggapan bahwa pesantren harus tetap seperti dulu: fokus pada pendidikan agama tanpa perlu terlibat dalam urusan duniawi. Ada pula yang khawatir bahwa memperkenalkan keterampilan di pesantren akan mengurangi kesakralan pendidikan Islam.
Tapi bukankah Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang sebelum menjadi nabi? Bukankah para sahabat banyak yang berprofesi sebagai petani, saudagar, dan pengrajin?
Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk hanya hidup di masjid dan pesantren. Sebaliknya, Islam mendorong umatnya untuk bekerja, berkarya, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Maka, jika pesantren ingin tetap relevan di zaman modern, ia harus berani berubah. Bukan berarti meninggalkan nilai-nilai agama, tetapi justru memperkaya santri dengan keterampilan yang akan membuat mereka lebih bermanfaat bagi umat.
Pesantren vokasi bukan hanya tempat belajar agama. Ia adalah tempat di mana santri mempersiapkan masa depannya. Sebuah lembaga yang mengajarkan bahwa menjadi Muslim yang baik tidak hanya soal salat dan puasa, tetapi juga soal bagaimana seseorang bisa berdiri di atas kakinya sendiri, bekerja dengan tangannya sendiri, dan memberi manfaat bagi sesama. Sebab, Islam bukan hanya tentang berdoa di masjid, tetapi juga tentang membangun dunia.